Febri, Cerita Seorang Bidan di Saat Pandemi
Foto: Ilustrasi
SURABAYA, SONORASURABAYA.com – Kisah ini menceritakan pengalaman nyata seorang Bidan bernama Febri (36th) yang bekerja di sebuah klinik kandungan di daerah Sidoarjo.
“Beragam kisah sedih, lucu, gak masuk akal. Macem-macem deh pokoknya terjadi di tempat kerjaku di masa pandemi ini. Dan inilah kisah nyataku,” kata Febri mengawali ceritanya.
“Saat pandemi melanda Indonesia sebenarnya panik juga karena aku harus bertemu dan melayani pasien secara langsung. Walaupun aku tidak mengetahui apakah pasien ini pembawa virus Covid-19 atau tidak. Klinik tempat aku bekerja pun melakukan protokol kesehatan. Mulai dari pengecekan suhu pasien, memberi jarak tempat duduk di ruang tunggu, menyediakan hand sanitizer dan menggunakan APD lengkap,” ujarnya.
Suatu ketika ada satu keluarga terdiri dari bapak ibu dan anak yang mengantarkan ibu nya untuk periksa kehamilan. Di pintu masuk klinik sudah tertulis WAJIB MASKER. Kemudian mereka masuk klinik dengan melepas maskernya.
“Saya pun langsung menegurnya dengan baik. Maaf pak bu, mohon maskernya di gunakan saja. Tapi yang membuat saya terkejut adalah ketika si Bapak ini menjawab , “Tenang aja mbak, saya gak pernah pergi kemana-mana, jadi mbak nya tidak usah khawatir. Saya sekeluarga tidak terkena virus covid,” kata Febri menirukan.
Mendengar kalimat itu, Febri merasa sedih.
“Karena kurangnya edukasi kebanyakan orang di luar. Bukannya aku dan teman sejawat takut dengan pasien tapi kami yang malah takut menulari mereka. Saat aku menjelaskan mengapa WAJIB MASKER, mereka langsung keluar klinik tanpa pamit. Apakah mereka malu atau mereka takut dengan kami, entahlah. Apakah sampai hanya disitu. Nggak sama sekali,” lanjutnya.
Kisah berikutnya, Febri menceritakan saat bertemu seorang pasien lainnya yang berkunjung ke klinik tempat kerjanya. Menurutnya, pasien ini sepertinya termakan hoax.
“Sesuai dengan SOP, di klinik tempat aku kerja harus melakukan pengecekan suhu kepada siapapun yang masuk ke dalam ruangan dokter. Karena saat itu suami dari pasienku ini ikut mendampingi istrinya kedalam ruangan dokter, maka terhadap suami pasien inipun aku juga melakukan pengecekan suhu tubuh. Namun suami dari pasienku ini tidak mau di lakukan pengecekan suhu pada bagian dahinya. Alasannya adalah “Jangan di kepala Mbak. Nanti kalau saya kena kanker otak, mbak nya mau tanggung jawab,” tutur Febri menirukan.
“Ya Ampuuuun…, ini apalagi. Mana ada termometer mengakibatkan kanker otak. Saat itu aku melakukan pengecekan suhu melalui tangannya. Tapi kok penasaran juga yah ama apa yang dikatakan oleh anggota keluarga pasien ini. Biar gak galau, saat itu juga aku langsung mencari literatur yang valid tentang ‘termometer bisa mengakibatkan kanker otak’, lanjutnya.
“Ternyata oh ternyata Sahabat. Itu adalah berita hoax yang sudah merajalela. Kemudian tidak hanya sampai mencari literatur, tapi aku juga mencari tahu ke beberapa teman aku yang berprofesi dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Dan mereka semua menyatakan bahwa memang ada berita hoax seperti itu di luar negeri,” urai Febri.
Sampai akhirnya ia juga mendengar sendiri penjelasan dari Menteri Kesehatan via media, bahwa berita itu hoax.
“Pengen ketawa. Tapi akhirnya jatuh pada sebuah pemakluman. Hello….pengecekan suhu di dahi ataupun di tangan tidak ada bedanya dan tidak menimbulkan dampak negatif pada tubuh, karena cahaya yang dikeluarkan termometer gun ini bukan sinar X atau semacamnya, melainkan sinar infrared. Sinar ini hanya bertujuan untuk memudahkan kita dalam mengarahkan bagian yang ingin diukur,” lanjutnya.
Febri melanjutkan, satu bulan kemudian pasien tersebut kembali untuk melakukan pemeriksaan dan lagi- lagi tidak mau di cek suhu di bagian dahinya. Ia pun mencoba untuk menjelaskan bahwa sinar termometer ini tidak berdampak negatif ataupun mengakibatkan kanker otak.
“Pasien ini pun tidak mempercayainya dan melakukan kroscek pada dokter ku. Dan dokter ku pun juga menjelaskan sama seperti yang aku jelaskan. Entah mengapa, selama istrinya diperiksa oleh dokter, si suami pasien yang ngeyel ini langsung meninggalkan istrinya sendirian,” ungkap Febri.
“Yah, aku hanya tersenyum dan terdiam. Dalam hatiku berkata, memang sudah menjadi tugasku sebagai paramedis atau tenaga kesehatan yang harus terus mengedukasi setiap pasien yang memang belum tahu. Bukankah setiap pekerjaan yang tulus memang menjadi ladang ibadah kita. Terlebih di masa pandemi ini,” pungkas Febri. [bud]
Febri, Cerita Seorang Bidan di Saat Pandemi [[➡️ https://t.co/qVgw32CTQ7⬅️]] #KGRadioNetwork #SonoraNetWork #BeritaSonora @smartfm_sby #RadioMenghubungkanIndonesia #BergerakBersamaPulihkanIndonesia pic.twitter.com/2HhlLU6ycq
— Sonora FM98 Surabaya (@SonoraFM98Sby) September 28, 2021